Ini akan menjadi cerita pertama, dari serangkaian cerita sejak 29 Juli lalu yang akan saya tulis sebagai pengingat bahwa saya pernah sekuat ini. Saya pernah menjadi bagian sejarah cerita sedih nan pilu, yang membuat Lombok semakin kuat.
Hari ini, 22 Agustus 2018 adalah hari raya idul Adha. Jangan ditanya bagaimana euforianya di Lombok ini. Jarang sekali bisa menemukan lokasi sholat ied di masjid. Semua orang trauma, takut bumi bergetar tiba-tiba. Malam takbiran tidak semeriah biasanya.
Semalam, anak-anak sibuk ikut iring-iringan pawai takbiran. Bagus untuk trauma healing sekalian. Sementara saya dan beberapa orang tua, memilih untuk diam di tenda. Trauma rasanya menakuti hampir di penjuru pulau, tidak ada yang berani diam terlalu lama di rumah, takut terlalu lama berjauhan dengan keluarga. Paling nikmat saat ini, bercengkrama dengan sesama pengungsi di bawah tenda.
Tadi pagi, sholat mulai tepat pukul tujuh. Ayat pendek yang dibaca tidak sepanjang biasanya. Khutbah hanya 2 menit, dilanjutkan doa tidak terlalu panjang. Di lingkungan saya, sholat masih di dalam masjid, meski lantai dua sudah retak. Ketakutan mencekam. Banyak jemaah memilih untuk mengambil saf di halaman masjid, entah karena tidak tau saf depan kosong atau karena takut.
Hewan kurban tidak sebanyak biasanya. Tidak apalah, keadaan saat ini juga menimbulkan korban. Tapi semoga kurban tetap ada untuk keluarga, sanak saudara kami di dekat pusat gempa sana.
Tempa saya; Mataram bisa dibilang aman. Tapi isu berkembang, katanya ini katanya itu. Malam tidak pernah semenakutkan ini. Hari minggu rasanya tidak pernah diinginkan lagi. Tiga hari minggu sudah terlewati sejak 29 Juli, dan tiga hari Minggu itu kami lewati dengan teriakan takbir dan istigfar karena getaran lebih dari 6SR.
update: taun lalu bisa make up, taun ini isa lipstik-an aja syukur :") takut diem dalem rumah lama-lama |
Semoga hari idul adha ini, Allah ampuni dosa dosa kita dan menjadi titik balik berhentinya gempa. Aamiin....
Saya turut berduka cita atas bencana gempa yang terjadi di Lombok. Mendengar cerita kamu, saya jadi teringat saat gempa besar yang pernah terjadi di Padang sekitar tahun 2006. Saat itu saya juga tidur di tenda yang dipenuhi rasa was-was, apalagi saat ada gempa-gempa susulan. Ketika tidur di tenda, getarannya sangat terasa karena langsung tidur di atas tanah. Saat itu saya juga sangat takut masuk ke dalam rumah, apalagi kalau harus ke toilet.
ReplyDeleteSemoga kalian di sana bisa melawan rasa trauma, dan dihindari musibah gempa oleh Allah. aamiin..