Assalamualaikum
Udah hampir setaun tapi baru bias
cerita, gpp ya…
Satu minggu sebelum hari itu, 29
Juli 2018 tepat satu hari setelah saya wisuda, gempa mengguncang Lombok dengan
kekuatan 5,6 berpusat di Lombok Timur. Kerusakan parah, korban, dan kesedihan
melanda warga dekat pusat gempa. Semua orang waktu itu bahu membahu
mengumpulkan bantuan, ga ketinggalan semua orang kenalan saya di Mataram yang
juga open donasi. Kita ga akan pernah menyangka kalau ternyata kita semua yang
ada di belahan Lombok lainnya akan jadi korban juga, satu minggu setelahnya.
baca sebelumnya : Idul Adha di Pengungsian Gempa Lombok
5 Agustus 2018 jam 18.35
Malam itu saya berniat mau
mencari tas selempang ala babang gojek yang hits kala itu untuk saya bawa
liburan. Semua persiapan liburan Surabaya-Semarang sudah siap. Tiket pesawat
keberangkatan pagi tanggal 6 agustus, tiket pulang, tiket kereta api PP
Surabaya-Semarang, hotel 3 malam semua sudah siap malam itu, kecuali packing.
Sebelum mencari tas, saya dan Naya mampir dulu ke rumah Lysya untuk mengambil
foto wisuda dan pinjam blazer untuk Naya. Saya ingat betul kita baru masuk
rumah Lysya langsung ke kamar kakaknya karena ada keponakannya. “Mba titip
bentar ya Nay, mau sholat sebentar” kata ipar Lysya ke Naya. (anw, saat
mengetik ini badan saya kembali menegang menginagt malam itu). Saat ipar Lysya
ke kamar mandi, saya mulai mengangkat si bayi dan menggendongnya. Belum satu
menit tibatiba ada teriakan dari kamar mandi “GEMPA…….” Semula rasanya kecil,
lalu perlahan membesar, suara gemuruh dan kemudian kami berteriak berlari
bersama-sama. Seluruh tetangga berteriak, kami saling memeluk di tengah aspal
perumahan, dan lampu seketika mati. Kami terus berpelukan dan bumi masih
bergoyang. Saat itu shalat jamaah isya masih tetap lanjut di masjid. Sebagian jamaah
berlari. Sekujur badan bergetar. Nggak pernah saya sangka kalo saya akan
mengalami gempa dengan guncangan sedahsyat itu. Saya menyerahkan bayi yang saya
gendong sejak berlari tadi ke Ibunya dengan tangan yang sangat gemetar. Lalu
saya mencoba menghubungi orang rumah tapi jaringan sibuk. Baiklah, mati lampu,
guncangan kecil masih terasa, dan nggak ada jaringan. Apa yang ada di kepala
saya; Nasib orang rumah gimana?
Saya dan Naya langsung tancap gas
pulang melupakan rencana awal. Sepanjang jalan sangat ramai dan macet. Semua
orang menjauhi bangunan, duduk selonjor dipinggir jalan sambil saling
menguatkan. Sampai di depan gang rumah, subhanallah itu orang rameeeeeeeeeeeeee
banget. Terdengar beberapa bapak-bapak berteriak menyuruh semua orang keluar
rumah dan kumpul di pinggir jalan karena saya tinggal di pemukiman padat
penduduk. Saya tanya ke beberapa orang apa ada rumah yang rubuh, katanya tidak
ada. Lalu saya tanya di mana Ibu dan adik saya, tidak ada yang tau. Hati saya
mulai berkecamuk, takut sekali, lalu saya masuk ke dalam gang yang keadaannya
sangat gelap, dengan beberapa genting berserakan di gang. Saya berteriak
memanggil ibu saya, sampai akhirnya saya bertemu Ibu saya yang sedang meirngkuk
berpelukan dgn adik saya di depan sebuah warung lalu kami bertiga menangis dan
saling memeluk. “cancel keberangkatanmu besok” kata ibu, dan saya hanya
mengangguk tanpa pikir panjang.
Malam itu rasanya seperti memutar
ulang siaran saat saudara-saudara di Aceh ditimpa musibah tsunami 2004 lalu,
karena malam itu kami hampir merasakan yang sama. Saat kami semua sudah
berkumpul di depan gang tibatiba ada yang berteriak tsunamiiiiiii. Lalu saya
dan adik menyeret ibu untuk berlari ke selatan. Lalu kami terdiam dan tibatiba
ada teriakan lagi kalau air sudah berjarak 2 KM dari tempat kami, lalu ibu
menyeret kami ke masjid “setidaknya kita mati di rumah Allah, ayo” kata Ibu
lalu kami sambil saling bergandeng tangan dan berlari kencang kearah masjid.
Sempat saat itu saya melihat orang menjarah konter hp di depan masjid tapi
pikiran sudah tidak focus, hanya berfikir bagaimana bisa kumpul dengan ibu dan
adik tanpa terpisah saja. Malam itu kami putuskan untuk menginap di halaman
masjid dengan puluhan KK lainnya. Setiap detik waktu kami habiskan dengan
saling menjaga, karena getaran terus terasa sepanjang malam. Setengah sepuluh
malam peringatan tsunami dicabut dan diumumkan lewat pengeras suara masjid.
Tengah malam lampu menyala. Tapi kami jelas-jelas tidak akan berani pulang
karena guncangan nggak pernah berenti. Baru setelah subuh kami akhirnya pulang.
Kami kira semuanya berakhir tapi
kami salah.
Siang saat aku, Ibu, dan adik
sedang bercengkrama di depan TV kembali lagi suara gemuruh datang dan
getarannya sangat kencang. Kami semua keluar rumah, suara anak menangis,
teriakan Ibu mencari anak, takbir, histeris, dan semua ketakutan dating lagi.
Tanpa piker panjang, seluruh warga langsung mengumpulkan terpal dan membangun
tenda di tanah lapang di tengah pemukiman kami. Mulai hari itu, dan sebulan
berikutnya saya dan 150 orang lainnya tidur di tenda…..
gempa malam itu, pemutakhiran menjadi 6,8SR |
setelah hari itu kami mulai download aplikasi ini. aplikasi yang bikin update tapi bikin parno dan dag dig dug karena tiap hari muncul notif begini banyak
|
di hari keberangkatan liat story Nini -temenku berangkat seharusnya-. Jadi sedih tapi di satu sisi akan lebih sedih kalo tetep kekeuh liburan sementara orang tua khawatir. Nini juga pasti sedih, tapi doi mau ngga mau tetep pergi karena doi mesti kuliah.
Next aku update tentang Lombok 2019 ya...
Wassalamualaikum.
Ya allah, ikut merinding bacanya. Dulu juga sempet ngalami gempa di jogja tahun 2016. Selama berhari-hari tinggal di tenda. Sejak itu tiap ada gempa dikit aja langsung kerasa dan reflek lari keluar rumah
ReplyDeleteEmaaa, aku takut banget bacanya apalagi pas bagian gendong bayi, jadi melow banget :"(
ReplyDeleteEma kuat banget, masih bisa bertahan dan bisa tetep tabah segitu bencana yg luarbiasa.
Terimakasih infonya, sukses terus ..
ReplyDelete